Kehilangan sosoknya lebih penting daripada kehilangan tubuhnya. Gagasan ini mencontohkan masalah yang dikenal sebagai "fatherless country" di negara ini. Menurut situs narasi.tv, Indonesia adalah negara ketiga fatherless di dunia. Mengingat definisi fatherless, yaitu kurangnya figur ayah dalam rumah tangga, terutama selama pertumbuhan dan perkembangan anak, keadaan ini tidak diragukan lagi dan bukan suatu prestasi. Menurut psikolog Amerika, budaya fatherless adalah budaya di mana orang biasanya tidak mengalami manfaat fisik dan psikologis dari sosok ayah. Tidak seperti anak yatim, gagasan utama di balik fatherless adalah tidak adanya fungsi ayah sebagai mentor dalam kehidupan mereka. Selama seseorang masih merasakan kehadiran sosok ayah dari kerabat lainnya seperti kakek atau saudara yang lebih tua, maka figur 'ayah' disini dapat tergantikan.
Penyebab fenomena ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ada 516.344 kasus perceraian di Indonesia per tahun pada 2022. Ini mungkin salah satu faktor yang menyebabkan fenomena fatherless ini muncul dalam kehidupan warga negara. Kehilangan figur ayah dan figur orang tua lainnya dalam kehidupan anak dapat dipengaruhi oleh perceraian. Di sisi lain, kehadiran pola patriarki yang semakin mendarah daging di masyarakat Indonesia menjadi alasan fatherless yang tak kalah signifikan. Gagasan sebelumnya untuk mengklasifikasikan mencari nafkah sebagai tanggung jawab ayah dan membagi tanggung jawab orang tua berdasarkan jenis kelamin. Hal inilah, yang melatarbelakangi anak Indonesia cenderung merasakan kehilangan sosok ayah dalam proses pendewasaannya.
Intinya, kedua orang tua sama-sama bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan dan perkembangan anak mereka. Anak-anak sebenarnya perlu memahami dan mengenali dua orang yang berbeda gender dalam hidup mereka sebagai panutan. Kepribadian keseluruhan anak akan dibentuk di masa depan oleh kemampuan orang tua untuk menyeimbangkan bagian feminin dan maskulin mereka sendiri. Jika ibu dapat mengajarkan sisi feminin mengenai perkembangan, pendewasaan, regulasi emosi, dan nilai afeksi, maka ayah dapat mengajarkan sisi maskulin mengenai logika, ketegasan, dan kemandirian.
Pada sebuah studi penelitian ditemukan dampak fatherless pada anak- anak, yaitu memiliki masalah dengan gangguan kecemasan dan depresi, (Kandel dkk, 1994), sampai menjadi pasien psikiatri di rumah sakit, (Block, 1988) terlibat dengan aktivitas seksual dini, penyalahgunaan obat-obatan, gangguan mood, dan terlibat kenakalan serius ataupun tindakan kriminal, (Fergusson dkk, 1944). Permasalahan tersebut dapat menimpa anak-anak yang mengalami perceraian orangtua ataupun ditinggalkan oleh ayahnya ketika usia mereka dibawah atau saat berusia 5 tahun.
Contoh sederhana yang bisa kita saksikan di kehidupan sehari-hari. Banyak kita lihat, dengar dan baca berita yang mengenai anak remaja yang tawuran. Anak-anak yang usianya masih bersekolah namun sudah hamil diluar nikah. Remaja yang seharusnya masih belajar arti hidup namun sudah overdosis obat terlarang. Mungkin banyak dari kita yang menyalahkan pergaulan. Kita seolah tidak sadar, terjadinya semua ino disebabkan tidak hadirnya sosok ayah dalam kehidupan mereka. Kekosongan sosok ayah yang seharusnya menghadirkan kebijaksanaan serta batasan tegas, membuat mereka mencari-cari sehingga tersalah langkah dalam pergaulan. Lantas, upaya apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir eksistensi fenomena ini? Berikut beberapa di antaranya:
1.Sebagai upaya preventif, seorang calon ayah perlu membekali ilmu parenting yang cukup guna mematangkan komitmen berkeluarga dan mencegah resiko terjadinya fatherless.
2.Dalam mengasuh dan mendampingi tumbuh kembang anak, diperlukan adanya kolaborasi peran yang efektif antara ayah dan ibu baik secara fisik maupun psikologis.
3.Selama proses pendewasaan, pendekatan diri antara anak dan ayah sangat berperan penting dalam menjaga keintiman yang dapat dilakukan melalui quality time secara berkala atau pada beberapa momen tertentu.
Melakukan konseling pada ahli profesional seperti psikolog dalam menyikapi dinamika rumah tangga dan proses pendewasaan anak.
Penyebab fenomena ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ada 516.344 kasus perceraian di Indonesia per tahun pada 2022. Ini mungkin salah satu faktor yang menyebabkan fenomena fatherless ini muncul dalam kehidupan warga negara. Kehilangan figur ayah dan figur orang tua lainnya dalam kehidupan anak dapat dipengaruhi oleh perceraian. Di sisi lain, kehadiran pola patriarki yang semakin mendarah daging di masyarakat Indonesia menjadi alasan fatherless yang tak kalah signifikan. Gagasan sebelumnya untuk mengklasifikasikan mencari nafkah sebagai tanggung jawab ayah dan membagi tanggung jawab orang tua berdasarkan jenis kelamin. Hal inilah, yang melatarbelakangi anak Indonesia cenderung merasakan kehilangan sosok ayah dalam proses pendewasaannya.
Intinya, kedua orang tua sama-sama bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan dan perkembangan anak mereka. Anak-anak sebenarnya perlu memahami dan mengenali dua orang yang berbeda gender dalam hidup mereka sebagai panutan. Kepribadian keseluruhan anak akan dibentuk di masa depan oleh kemampuan orang tua untuk menyeimbangkan bagian feminin dan maskulin mereka sendiri. Jika ibu dapat mengajarkan sisi feminin mengenai perkembangan, pendewasaan, regulasi emosi, dan nilai afeksi, maka ayah dapat mengajarkan sisi maskulin mengenai logika, ketegasan, dan kemandirian.
Pada sebuah studi penelitian ditemukan dampak fatherless pada anak- anak, yaitu memiliki masalah dengan gangguan kecemasan dan depresi, (Kandel dkk, 1994), sampai menjadi pasien psikiatri di rumah sakit, (Block, 1988) terlibat dengan aktivitas seksual dini, penyalahgunaan obat-obatan, gangguan mood, dan terlibat kenakalan serius ataupun tindakan kriminal, (Fergusson dkk, 1944). Permasalahan tersebut dapat menimpa anak-anak yang mengalami perceraian orangtua ataupun ditinggalkan oleh ayahnya ketika usia mereka dibawah atau saat berusia 5 tahun.
Contoh sederhana yang bisa kita saksikan di kehidupan sehari-hari. Banyak kita lihat, dengar dan baca berita yang mengenai anak remaja yang tawuran. Anak-anak yang usianya masih bersekolah namun sudah hamil diluar nikah. Remaja yang seharusnya masih belajar arti hidup namun sudah overdosis obat terlarang. Mungkin banyak dari kita yang menyalahkan pergaulan. Kita seolah tidak sadar, terjadinya semua ino disebabkan tidak hadirnya sosok ayah dalam kehidupan mereka. Kekosongan sosok ayah yang seharusnya menghadirkan kebijaksanaan serta batasan tegas, membuat mereka mencari-cari sehingga tersalah langkah dalam pergaulan. Lantas, upaya apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir eksistensi fenomena ini? Berikut beberapa di antaranya:
1.Sebagai upaya preventif, seorang calon ayah perlu membekali ilmu parenting yang cukup guna mematangkan komitmen berkeluarga dan mencegah resiko terjadinya fatherless.
2.Dalam mengasuh dan mendampingi tumbuh kembang anak, diperlukan adanya kolaborasi peran yang efektif antara ayah dan ibu baik secara fisik maupun psikologis.
3.Selama proses pendewasaan, pendekatan diri antara anak dan ayah sangat berperan penting dalam menjaga keintiman yang dapat dilakukan melalui quality time secara berkala atau pada beberapa momen tertentu.
Melakukan konseling pada ahli profesional seperti psikolog dalam menyikapi dinamika rumah tangga dan proses pendewasaan anak.
Helmi Syarah
Mahasiswa KPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar