Ambruk! Silicon Valley Bank, Percontohan Bank Dunia

 

Insight-Cybermedia.Com, Bandung. Sektor keuangan AS mengalami kepanikan setelah Silicon Valley Bank (SVB) mengalami kebangkrutan (10/5). Kebangkrutan SVB merupakan kejadian terbesar sejak krisis keuangan 2008 dan terbesar kedua dalam sejarah AS. Bank yang berfokus pada layanan untuk perusahaan teknologi (startup) di Silicon Valley itu, mengalami kebangkrutan setelah para deposan ramai-ramai menarik deposito mereka. Karena keterbatasan likuiditas bank, sebagian nasabah pada akhirnya tidak mampu menarik dana mereka.

Pemicu ambruknya bank terbesar ke-16 di AS itu bermula saat pandemi ketika perusahaan-perusahaan startup mengalami peningkatan permintaan layanan. Peningkatan permintaan itu mendorong mereka meningkatkan pinjaman kepada SVB untuk menambah modal. SVB tentu sangat senang dengan peningkatan pinjaman tersebut, sebab semakin banyak pinjaman yang diberikan maka semakin besar pendapatan bunga yang dapat diraup. Karena itu, SVB menerbitkan surat utang alias obligasi dengan bunga rendah untuk menarik dana investor dari pasar modal.

Kegembiraan itu berubah menjadi petaka, ketika The Fed, yang nyaris mene- rapkan bunga nol persen selama pandemi, secara bertahap menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi selama tahun 2022-2023. Per Maret 2023, suku bunga The Fed telah mencapai 4,57 persen. Dengan demikian, suku bunga perbankan akan ikut mengikuti kenaikan itu, sehingga beban pembayaran bunga deposito bank naik. Di sisi lain, minat investor untuk berinvestasi pada obligasi yang sebelumnya diterbitkan dengan bunga rendah menurun. Ketika permintaan obligasi turun maka harganya akan merosot. Dampaknya, nilai aset SVB dalam bentuk obligasi juga menurun.

Upaya SVB untuk memperbaiki nilai asetnya dengan sejumlah skenario ditang- gapi miring oleh para investor bank terbesar ke-16 di AS itu. Pengumuman tersebut, ditambah dengan peringatan dari investor Silicon Valley terkemuka, mendorong deposan beramai-ramai menarik dana mereka. Jumlah penarikan nasabah mencapai US$42 miliar pasca pengumuman tersebut.

Ibarat tubuh yang semakin banyak kehilangan darah, SVB, yang asetnya per Desember 2022 mencapai $209 miliar, mencoba mencari bantuan dari lembaga lain. Namun, upaya dalam waktu singkat itu belum membuahkan hasil hingga Departemen Perlindungan dan Inovasi Keu- angan California (DFPI) menyita SVB dan menempatkannya di bawah kurator Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS- KP) di Indonesia. Nasabah dengan simpanan hingga $250 ribu mendapat asuransi pengembalian dari FDIC. Namun, sekitar 89 persen dana nasabah yang mencapai US$172 miliar, di atas batas tersebut sehingga tidak mendapatkan jaminan. Memang pada akhirnya, FDIC menerima oto- ritas luar biasa dari Departemen Keuangan dan mengumumkan bersama dengan lem- baga lain bahwa semua deposan akan memiliki akses penuh ke dana mereka.

Mulai Retak

Resep The Fed untuk menyelamatkan ekonomi AS dari inflasi tinggi yang sebe- lumnya disebut-sebut dapat mengarah ke resesi, telah berdampak nyata pada mem- buruknya aset sektor perbankan di negara itu. "Episode ini akan berkontribusi pada peningkatan ketidakstabilan (volatility) yang lebih tinggi, investor yang waspada akan berjaga-jaga melihat retakan mana lagi yang akan muncul akibat berlanjutnya pengetatan kebijakan The Fed," ungkap Karl Schamotta, kepala strategi pasar di Corpay di Toronto, yang dikutip Reuters (13/3).

Seberapa besar efek lanjutan yang ditimbulkan oleh ambruknya SVB terhadap sistem keuangan di AS dan global masih menjadi tanda tanya. Namun, yang pasti, kebangkrutan SVB telah meningkatkan kesadaran publik dan regulator bahwa sistem kapitalisme memang sangat rapuh sehingga berpotensi ambruk kapan saja.

Indra Margana

marganaausi@gmail.com

@marganaid

Komunikasi Penyiaran Islam

UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© all rights reserved
made with by templateszoo